KOPERASI SEBAGAI SOKOGURU PEREKONOMIAN INDONESIA
Masalah : masih
berlakukah KOPERASI SEBAGAI SOKOGURU PEREKONOMIAN INDONESIA?
Analisis :
Menuru Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1992
tentang Perkoperasian, dikatakan bahwa KOPERASI adalah badan usaha yang
beranggotakan orang-orang atau badan hukum Koperasi dengan berlandaskan
kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat
yang berdasar atas asas kekeluargaan.
UUD 1945 pasal 33 memandang koperasi sebagai sokoguru
perekonomian nasional, yang kemudian semakin dipertegas dalam pasal 4 UU No. 25
tahun 1992 tentang perkoperasian.
Menurut M. Hatta sebagai pelopor pasal 33 UUD 1945 tersebut, koperasi dijadikan
sebagai sokoguru perekonomian nasional karena:
1) Koperasi mendidik sikap self-helping.
2) Koperasi mempunyai sifat kemasyarakatan, di mana
kepentingan masyarakat harus lebih
diutamakan daripada kepentingan dri atau golongan sendiri.
3) Koperasi digali dan dikembangkan dari budaya asli bangsa
Indonesia.
4) Koperasi menentang segala paham yang berbau
individualisme dan kapitalisme.
Ada 9 asas pembangunan nasional yang harus diperhatikan
dalam setiap pelaksanaan pembangunan (GBHN, 1988) yaitu:
1) Asas Keimanan dan Ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa,
bahwa segala usaha dan kegiatan pembangunan nasional dijiwai, digerakkan dan
dikendalikan oleh keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai
nilai luhur yang menjadi landasan spiritual, moral dan etika dalam rangka
pembangunan nasional sebagai pengamalan pancasila.
2) Asas Manfaat, bahwa segala usaha dan kegiatan pembangunan
nasional memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemanusiaan, bagi
peningkatan kesejahteraan rakyat dan pengembangan pribadi warga negara serta
mengutamakan kelestarian nilai-nilai luhur budaya bangsa dan P elestarian
fungsi lingkungan hidup dalam rangka pembangunan yang berkesinambungan dan berkelanjutan.
3) Asas Demokrasi Pancasila, bahwa upaya mencapai tujuan
pembangunan nasional yang meliputi seluruh kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara dilakukan dengan semangat kekeluargaan yang bercirikan
kebersamaan, gotong-royong, persatuan dan kesatuan melalui musyawarah untuk
mencapai mufakat.
4) Asas Adil dan Merata, bahwa pembangunan nasional yang
diselenggarakan sebagai usaha bersama harus merata di semua lapisan masyarakat
dan di seluruh wilayah tanah air.
5) Asas Keseimbangan, Keserasian, dan Keselarasan dalam
Perikehidupan,bahwa dalam pembangunan nasional harus ada keseimbangan antara
berbagai kepentingan, yaitu keseimbangan, keserasian, keselarasan antara
kepentingan dunia dan akhirat, jiwa dan raga, individu, masyarakat dana negara,
dan lain-lain.
6) Asas Kesadaran Hukum, bahwa dalam pembangunan nasional
setiap warga negara dan penyelenggara
negara harus taat pada hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran, serta
negara diwajibkan untuk menegakkan dan menjamin kepastian hukum.
7) Asas Kemandirian,
bahwa dalam pembangunan nasional harus berlandaskan pada kepercayaan akan
kemampuan dan kekuatan sendiri serta bersendikan kepada kepribadian bangsa.
8) Asas Kejuangan, bahwa dalam penyelenggaraan pembangunan
nasional, penyelenggaraan negara dan masyarakat harus memiliki mental, tekad, jiwa
dan semangat pengabdian serta ketaatan dan disiplin yang tinggi dengan
lebih mengutamakan kepentingan bangsa
di atas kepentingan pribadi/golongan.
9) Asas Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, dalam pembangunan
nasional dapat memberikan kesejahteraan
lahir batin yang setinggi-tingginya,penyelenggaraannya perlu menerapakan
nilai-nilai ilmu pengetahuan dan tekonologi secara seksam dan bertanggung jawab
dengan memperhatikan nilai-nilai agama
dan nilai-nilai luhur budaya bangsa.
koperasi di Indonesia saat ini masih ditanggapi dengan pola
pikir yang sangat beragam, sebagai suatu perangkat sistem kelembagaan yang
menjadi landasan perekonomian kita, koperasi akan selalu berkembang dinamis
mengikuti berbagai perubahan lingkungan. Dinamika itulah yang mengundang
lahirnya beraneka pola tersebut. Gejala seperti itu justru sangat positif bagi
proses pendewasaan koperasi.
Jika kita kembali kepada pengertian koperasi itu sendiri,
yaitu lembaga ekonomi berwatak sosial, dalam lingkup pengertian seperti itu,
banyak pihak yang menafsirkan koperasi Indonesia hanya semata sebagai suatu
lembaga dalam arti yang begitu sempit, yaitu organisasi atau lembaga atau badan
hukum yang menjalankan aktifitas ekonomi dengan tujuan peningkatan
kesejahteraan rakyat banyak.
Padahal menurut pasal 33 UUD 1945, koperasi ditetapkan
sebagai bangun usaha yang sesuai dalam tata ekonomi kita berlandaskan demokrasi
ekonomi. Oleh karena itu, seharusnya koperasi perlu dipahami secara lebih luas,
yaitu sebagai suatu kelembagaan yang mengatur tata ekonomi kita berlandaskan
jiwa dan semangat kebersamaan dan kekeluargaan.
Dengan pemahaman demikian, jelaslah bahwa dalam demokrasi
ekonomi jiwa dan semangat kebersamaan dan kekeluargaan juga harus dikembangkan
dalam wadah ekonomi lain, seperti BUMN dan swasta, sehingga ketiga wadah pelaku
ekonomi tersebut dijamin keberadaannya dan memiliki hak hidup yang sama
dinegeri ini.
Maka intinya adalah bagaimana mengupayakan agar jiwa dan
semangat kebersamaan dan kekeluargaan tersebut secara substantif berada dan
mewarnai kehidupan dari ketiga wadah pelaku ekonomi.” Jadi membangun sokoguru
perekonomian nasional berarti membangun badan usaha koperasi yang tangguh,
menumbuhkan badan usaha swasta yang kuat dan mengembangkan BUMN yang mantap
secara simultan dan terpadu dengan bertumpu pada Trilogi Pembangunan untuk
mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat banyak.
Karena pemahaman dan pemikiran terhadap koperasi dalam arti
yang luas dan mendasar seperti dimaksudkan dalam pasal 33 UUD 1945 beserta
penjelasannya, memang sangat diperlukan. Apalagi, dalam menghadapi berbagai
perubahan dan tantangan pembangunan kita di masa yang akan datang. Seperti
telah kita sadari bersama bahwa dalam era tinggal landas nanti, untuk
mewujudkan perekonomian yang berlandaskan Trilogi Pembangunan setidak-tidaknya
terdapat tiga tantangan besar yang perlu diantisipasi oleh ketiga wadah pelaku
ekonomi, yaitu; 1. Mempertahankan pertumbuhan ekonomi dalam situasi proses
globalisasi ekonomi yang makin meluas. 2. Mempercepat pemerataan yang makin
mendesak mengingat 36,2 juta rakyat masih berada di bawah garis kemiskinan. 3.
Memelihara kesinambungan kegiatan pembangunan yang stabil dan dinamis dalam
rangka mengantisipasi kemungkinan adanya berbagai kendala yang menghambat upaya
kita menjawab kedua tantangan di atas. Untuk menjawab dengan tepat tantangan
tersebut di atas, diperlukan komitmen dan tanggung jawab yang besar dari ketiga
wadah pelaku ekonomi tersebut.
Konkritnya adalah peningkatan dan pematangan integrasi
ketiga wadah pelaku ekonomi, yang dilandaskan atas jiwa dan semangat
kekeluargaan dan kebersamaan. Proses integrasi tersebut adalah proses hubungan
keterkaitan integratif yang telah dan sedang dilaksanakan untuk mengembangkan
ketiga wadah pelaku ekonomi tersebut sesuai dengan fungsinya masing-masing.
Peningkatan dan pemantapan proses integrasi tersebut mutlak harus dilaksanakan
untuk menjawab tantangan pembangunan di masa yang akan datang.
Sehubungan dengan masalah mendasar tersebut, adalah menarik
untuk dikaji pemikiran beberapa pakar yang mengatakan bahwa dalam tata
perekonomian kita yang didasarkan pada Demokrasi Ekonomi, ketiga wadah pelaku
ekonomi memang mempunyai komitmen dan tanggungjawab yang sama terhadap
terwujudnya Trilogi Pembangunan.
Namun demikian sesungguhnya terdapat pembagian kerja bagi
masing-masing wadah pelaku ekonomi tersebut. Pembagian kerja tersebut merupakan
konsekuensi akibat perbedaan ciri-ciri organisasi masing-masing wadah pelaku
ekonomi tersebut. Hal ini terutama berkaitan dengan tingkat efisiensi
masing-masing wadah pelaku ekonomi tersebut dalam mencapai salah satu unsur
dari Trilogi Pembangunan.
Dilihat dari tingkat efisiensi, masing-masing wadah pelaku
ekonomi tersebut mempunyai keunggulan komparatif sendiri-sendiri dalam
mewujudkan perekonomian nasional yang berlandaskan Trilogi Pembangunan. Melalui
pemikiran tersebut di atas, dapat dirumuskan suatu pola pembagian kerja di
antara ketiga wadah pelaku ekonomi tersebut, bukan dalam bentuk gagasan
pengkaplingan bidang usaha, melainkan dalam pembagian kerja secara fungsional
yang berlandaskan pada Trilogi Pembangunan.
Koperasi dengan sifat-sifat khas berdasarkan prinsip
kelembagaannya, nampak lebih efisien untuk melaksanakan secara langsung tugas
pokoknya di bidang pemerataan. Tentu saja hal ini dilakukan dengan tidak
mengabaikan tanggungjawab dan tugasnya di bidang pertumbuhan dan stabilitas.
Pemikiran tentang tugas pokok koperasi seperti diuraikan oleh para pakar
tersebut, memang dapat merupakan rasionalisasi dari tugas koperasi yang telah
secara tegas tercantum dalam arah pembangunan jangka panjang [GBHN], yaitu
sebagai wadah untuk menumbuhkan dan meningkatkan kemampuan yang lebih besar
bagi golongan ekonomi lemah agar mereka dapat ikut berpartisipasi dalam proses
pembangunan dan sekaligus dapat ikut menikmati hasil-hasilnya.
Koperasi merupakan kunci utama dalam upaya mengentaskan
anggota masyarakat kita dari kemiskinan. Dengan tugas fungsional koperasi
seperti itu, diharapkan akan lebih efisien apabila fungsinya diarahkan untuk
tugas pokok memobilisasikan sumberdaya dan potensi pertumbuhan yang ada, tanpa
harus mengabaikan fungsinya dalam mengembangkan tugas stabilitas dan
pemerataan. Sedangkan BUMN, sebagai satu wadah pelaku ekonomi yang dimiliki
oleh pemerintah, mempunyai kelebihan potensi yaitu lebih efisien dalam tugas
pokoknya melaksanakan stabilitas, sekaligus berfungsi merintis pertumbuhan dan
pemerataan. Apabila kita dapat mengikuti pemikiran para pakar seperti diuraikan
di atas, maka akan lebih memperkuat alasan bahwa untuk menghadapi
tantangan-tantangan di masa mendatang, masing- masing wadah pelaku ekonomi
seharusnya tidak dibiarkan tumbuh dan berkembang sendiri-sendiri.
Ketiga wadah pelaku ekonomi tadi justru harus berkembang dan
saling terkait satu sama lain secara integratif. Tanpa keterkaitan integratif
seperti itu, perekonominan nasional kita tidak akan mencapai produktivitas dan
efisiensi nasional yang tinggi. Di samping itu kita akan selalu menghadapi
munculnya kesenjangan antara tingkat pertumbuhan dan tingkat pemerataan yang
pada gilirannya akan mempengaruhi tingkat stabilitas nasional. Hal ini
disebabkan swasta dan BUMN, sesuai dengan ciri organisasi dan tugasnya,
memiliki peluang yang lebih besar untuk tumbuh dan berkembang secara lebih
cepat. Sedangkan koperasi, sesuai dengan ciri-ciri dan tugasnya yang
berorintasi pada upaya peningkatan pendapatan masyarakat golongan ekonomi
lemah, tumbuh dan berkembang lebih lamban dibanding dengan kedua wadah pelaku
ekonomi.
Oleh karena itu, harus diusahakan agar tingkat pertumbuhan
koperasi dapat sejajar dan selaras dengan tingkat pertumbuhan pihak swasta dan
BUMN sehingga tercapai pertumbuhan yang merata. Untuk itu tidak dapat
dihindarkan bahwa tingkat perkembangan koperasi pada umumnya harus secara aktif
dikaitkan dengan perkembangan yang terjadi pada wadah pelaku ekonomi swasta dan
BUMN.
Sebaliknya pihak swasta dan BUMN dalam pertumbuhannya
mempunyai kewajiban untuk membantu koperasi dengan memberikan peluang dan
dorongan melalui proses belajar yang efektif. Tentu saja bantuan tersebut tanpa
harus mengganggu prestasi dan gerak pertumbuhan swasta dan BUMN itu sendiri.
Dengan demikian koperasi, dalam proses perkembangannya, akan
lebih terdorong untuk berkembang lebih cepat dalam melaksanakan tugas pokoknya
sebagai wadah pemerataan dan mampu mempertahankan perkembangannya, sehingga
tidak menjadi beban bagi swasta dan BUMN. Kondisi semacam itu merupakan wujud
nyata gambaran pelaksanaan jiwa dan semangat kebersamaan dan kekeluargaan dalam
tata perekonomian nasional kita.
Dalam hubungan itu tepat apa yang dijabarkan ISEI dalam
naskah penjabaran Demokrasi Ekonomi, bahwa wadah pelaku ekonomi yang kuat tidak
dihalangi dalam upayanya memperoleh kemajuan dan perkembangan. Mereka justru
berkewajiban membantu perkembangan wadah pelaku ekonomi lainnya yang lebih
lemah. Sebaliknya pelaku ekonomi yang lemah perlu dibantu dan diberi dorongan
agar dapat lebih maju.
Dengan demikian semua pelaku ekonomi dapat tumbuh dan
berkembang bersama-sama sesuai dengan fungsinya. Selanjutnya bentuk hubungan
keterkaitan integratif tersebut dalam pelaksanaannya harus tetap dilandaskan
dan mengacu pada prinsip-prinsip ekonomi yang rasional dalam mekanisme pasar
yang sehat. Oleh karena itu keterkaitan integratif harus dilaksanakan tetap
dalam kerangka hubungan yang saling memberi manfaat, baik manfaat ekonomi
maupun manfaat sosial. Manfaat sosial di sini berarti bahwa secara langsung
maupun tidak langsung, jangka pendek maupun jangka panjang, pasti akan
memberikan manfaat ekonomi.
Secara lebih konkrit bentuk keterkaitan integratif dapat
berupa tiga bentuk utama, yaitu: persaingan yang sehat, keterkaitan mitra-usaha
dan keterkaitan kepemilikan. Dalam membahas keterkaitan integratif melalui
persaingan yang sehat, bentuk keterkaitan tersebut dilaksanakan berdasarkan
ketentuan adanya kesepakatan untuk bersaing dengan masing-masing mendapatkan
keuntungan yang wajar tanpa harus saling merugikan.
Hal itu dapat diwujudkan, baik melalui peningkatan efisiensi
masing-masing pihak dalam mengelola sumber daya yang dimiliki secara optimal,
maupun melalui pemanfaatan peranan salah satu wadah pelaku ekonomi sebagai
pengimbang bagi pelaku ekonomi lain dalam pelaksanaan kegiatan usaha pada
bidang tertentu. Semua langkah tersebut diorientasikan pada upaya untuk selalu
mengefisienkan pemanfaatan sumber daya yang tersedia dengan tetap menerima
kondisi keterkaitan satu sama lain dalam sistem perekonomian nasional.
Salah satu contoh keterkaitan integratif seperti diuraikan
di atas dalam bentuk yang mungkin masih terus disempurnakan, diantaranya adalah
tata niaga pangan, khususnya padi dan palawija. Dalam tata niaga pangan
tersebut, telah dapat diwujudkan suatu bentuk keterkaitan antara BUMN, koperasi
dan swasta, baik sebagai produsen maupun konsumen yang masing-masing dapat
menjalakan tugas pokoknya dan mendapatkan keuntungan serta manfaat yang wajar
sehingga mereka dapat lebih tumbuh bersama secara merata dan saling tergantung
satu sama lain.
Selanjutnya bentuk keterkaitan integratif lainnya dapat
bersifat komplementer atau substitusi pada suatu bidang usaha tertentu.
Keterkaitan komplementer diartikan bahwa setiap wadah pelaku ekonomi yang masih
lemah di bidang tertentu, dapat dibantu dan diperkuat oleh wadah pelaku ekonomi
lainnya yang mampu di bidang itu, sehingga secara bertahap yang lemah tadi
menjadi kuat. Dalam hubungan itu masing-masing wadah pelaku ekonomi yang
terlibat dalam hubungan tersebut haruslah berada dalam posisi dan kedudukan
yang setaraf.
Dengan demikian nilai tambah yang dihasilkan dapat dibagi
secara proporsional atau seimbang, sesuai dengan prestasi masing-masing wadah
pelaku ekonomi. Bentuk keterkaitan Bapak–Anak angkat, Pola PIR, adalah beberapa
contoh bentuk keterkaitan komplementer seperti diuraikan di atas.
Dalam kerangka keterkaitan substitusi tersebut apabila salah
satu wadah pelaku ekonomi, karena satu dan lain hal, tidak mampu melakukan misi
dan peranannya maka untuk sementara peranan tersebut dapat digantikan oleh
wadah pelaku ekonomi lainnya yang lebih mampu. Dalam kaitan itu, bentuk
substitusi ini dapat dilakukan baik oleh BUMN maupun swasta besar untuk
membantu wadah pelaku ekonomi lain yang masih lemah, baik yang tergabung dalam
bentuk swasta maupun koperasi.
Selanjutnya pada saat tertentu, jika kondisinya telah
memungkinkan, BUMN dan swasta dapat secara bertahap menyerahkan kembali
kepemilikan dan pengelolaan usaha itu kepada salah satu wadah pelaku ekonomi
yang lemah tadi sesuai dengan bidang usaha yang dikembangkannya. Apabila
kegiatan usaha tersebut menyangkut pemerataan, pemilikan dan pengelolaan usaha
tersebut diserahkan kepada koperasi.
Sedangkan kegiatan usaha yang menyangkut bidang pertumbuhan
ekonomi dapat diserahkan pada sektor swasta. Sebagai contoh yang aktual, bentuk
keterkaitan substitusi adalah Tata Niaga Cengkeh. Karena koperasi belum mampu
melaksanakannya sendiri, tugas tersebut dilaksanakan oleh swasta yaitu BPPC.
Selanjutnya secara bertahap sesuai dengan kemampuan
koperasi, tugas tersebut diserahkan secara penuh kepada koperasi. Ketiga bentuk
keterkaitan tersebut di atas, suatu saat akan sampai pada posisi yang lebih
terintegrasi secara total, dalam bentuk keterkaitan kepemilikan. Melalui bentuk
keterkaitan tersebut, secara bertahap koperasi dapat memilki saham perusahaan,
baik koperasi itu sendiri memilki keterkaitan usaha secara langsung maupun
tidak langsung dengan perusahaan dimaksud.
Dari uraian di atas, maka jelaslah bahwa integrasi ketiga
wadah pelaku ekonomi tersebut yang telah mulai dilaksanakan pada PJPT–I ini
harus terus ditekankan dan dimantapkan sebagai wadah dasar guna menggerakkan
upaya mewujudkan Trilogi Pembangunan: pemerataan, pertumbuhan dan stabilitas
yang secara selaras, terpadu, saling memperkuat serta mendukung sesuai dengan
keunggulan komparatif masing-masing wadah pelaku ekonomi tersebut di masa
mendatang.
Dari keseluruhan pola pikir seperti diuraikan tersebut di
atas, maka jelaslah bahwa dalam tatanan perekonomian nasional, koperasi
Indonesia pada dasarnya mempunyai fungsi yang sarat dengan misi pembangunan,
terutama terwujudnya pemerataan.
Koperasi Indonesia merupakan bagian integral dari sistem
pembangunan nasional kita. Peranan itu memang susuai dengan ketetapan mengenai
fungsi koperasi sebagaimana tercantum dalam Undang-undang nomor 12 tahun 1967
tentang pokok-pokok Perkoperasian yang menegaskan bahwa koperasi sebagai alat
perjuangan ekonomi guna mempertinggi kesejahteraan rakyat banyak.
Dari kerangka pendekatan dan pemikiran yang bersifat
integral di atas, maka jelaslah bahwa koperasi Indonesia adalah suatu badan
usaha yang seharusnya dapat bergerak di bidang usaha apa saja sepanjang
orientasinya adalah untuk meningkatkan usaha golongan ekonomi lemah. Koperasi
ini pada gilirannya akan memberikan dampak berupa peningkatan kesejahteraan
mereka.
Orientasi usaha seperti itulah yang merupakan salah satu
ciri sosial dari koperasi yang membedakannya dengan badan usaha lainnya. Dalam
hubungan ini perlu juga adanya kejelasan terhadap pendapat bahwa karena
koperasi harus melayani yang lemah dan kecil, maka usaha koperasi tidak dapat
menjadi besar.
Pendapat demikian ini adalah keliru, karena justru untuk
memperoleh kelayakan usahanya, setiap koperasi harus didorong dan dikembangkan
menjadi besar dengan menghimpun kekuatan ekonomi dari mereka yang lemah dan
kecil-kecil. Memang perlu ditegaskan bahwa besarnya usaha koperasi seperti di
atas bukanlah tujuan, tetapi hanya merupakan dampak dari suatu upaya untuk
dapat mengembangkan dirinya secara efektif dan efisien.
Tolak ukur perkembangan koperasi Indonesia bukan saja besar
atau kecilnya volume usaha atau sumbangannya dalam pertumbuhan ekonomi. Oleh
karena itu, kurang relevan kalau mengukur keberhasilan koperasi dengan ukuran
keberhasilan BUMN atau swasta.
Yang menjadi ukuran koperasi Indonesia adalah sejauh mana
usaha koperasi itu terkait dengan usaha anggotanya terutama golongan ekonomi
lemah, dan pada gilirannya dapat menghasilkan manfaat sebesar-besarnya dalam
proses peningkatan kesejahteraan mereka.
Dengan perkataan lain yang diukur adalah sumbangannya secara
langsung dalam proses melaksanakan fungsi pemerataan. Dengan cara pandang
demikian koperasi yang memiliki usaha kecil, namun terkait dengan kegiatan
usaha para anggotanya akan memiliki bobot kualitas yang lebih tinggi dibanding
dengan koperasi yang memiliki usaha besar tetapi tidak terkait dengan kegiatan
usaha atau kepentingan para enggotanya.
Dalam hubungan itu tepatlah apa yang dikatakan mantan
Presiden Soeharto bahwa, “masih ada yang berpendapat bahwa koperasi tertinggal
jauh dibandingkan BUMN dan perusahaan swasta, karena tidak ada koperasi yang
memiliki bangunan megah atau usaha berskala besar. Padahal tujuan koperasi
bukanlah untuk mendirikan usaha besar serta gedung mewah. Tetapi yang jelas
tugas utama koperasi adalah tetap berusaha meningkatkan kesejahteraan dan
kemakmuran anggotanya.”
Selanjutnya dalam rangka mengukur keberhasilan pembangunan
koperasi juga terdapat pandangan yang kurang tepat apabila dilakukan dengan
membandingkan kelambanan proses perkembangan koperasi di Indonesia dengan
kecepatan kemajuan koperasi di negara-negara lain, terutama negara-negara maju.
Hal ini disebabkan karena koperasi yang sudah pesat kemajuannya di negara lain
pada umumnya telah berkembang rata-rata lebih dari 50 tahun.
Sedangkan di Indonesia perkembangan koperasi mulai dibangun
secara konseptual dan intensif sejak Pelita II. Di samping itu di negara yang
koperasinya sudah maju, pada awal perkembangannya, koperasi tidaklah diberi
peran formal untuk mengatasi kemiskinan. Kalau toh ada golongan ekonomi lemah
pada saat itu maka jelas golongan tersebut kondisinya jauh lebih baik dibanding
dengan kondisi golongan ekonomi lemah di Indonesia.
Dengan posisi seperti itu adalah hal wajar apabila koperasi
Indonesia tumbuh lebih lamban, karena membangun koperasi Indonesia tidak mudah
dan sederhana mengingat umumnya koperasi dibentuk oleh mereka yang bermodal
kecil, berketerampilan sederhana dan tidak memiliki pengetahuan manajemen yang
memadai.
Setelah diketahui dengan jelas fungsi koperasi di Indonesia,
maka permasalahan selanjutnya adalah bagaimana strategi pembangunannya. Seperti
telah kita ketahui bersama bahwa masalah utama dalam pengembangan koperasi
Indonesia adalah belum tersedianya jaminan pasar, kelemahan manajemen dan
keterbatasan modal.
Masalah seperti itu perlu segera diatasi dengan strategi
pembinaan yang tepat dan efektif, serta tetap mengacu pada strategi pembangunan
nasional kita seperti yang telah diuraikan di atas, yaitu strategi keterkaitan
integratif. Strategi itu telah mulai dilaksanakan sejak Pelita II yang lalu,
dengan upaya mengembangkan koperasi Indonesia di pedesaan yang kita kenal
dengan Koperasi Unit Desa [KUD]. Strategi itu telah berhasil tidak saja
mengembangkan KUD-KUD yang sebagian besar telah mandiri, namun juga sekaligus
mampu mengembangkan mitra usahanya baik swasta maupun BUMN.
Namun demikian harus diakui bahwa keberhasilan tersebut
belum lagi optimal. Koperasi Indonesia belum lagi dapat berfungsi secara
efektif terutama dalam rangka mengangkat rakyat kita yang masih hidup di bawah
garis kemiskinan. Itu merupakan tantangan besar bagi koperasi Indonesia. Untuk
itu strategi keterkaitan integratif tersebut harus lebih digalakkan dan
dimantapkan dalam pelaksanaannya di masa mendatang.
Selanjutnya suatu aspek lain yang perlu kita bahas adalah
agar proses hasil keterkaitan integratif itu dapat optimal dan efisien,
seyogyanya ketiga wadah pelaku ekonomi tidak berupaya untuk mengembangkan
dirinya menjadi organisasi yang eksklusif. Dalam hubungan ini koperasi
Indonesia juga harus lebih terbuka karena sikap eksklusifnya hanya akan semakin
memperlemah posisinya.
Melalui keterbukaan tersebut, semua aset nasional akan dapat
dimanfaatkan untuk menjadi faktor pendorong dalam mempercepat perkembangan
koperasi Indonesia, tanpa harus kehilangan asas sendi-sendi dasarnya. Untuk
itu, di samping terus mengembangkan kekuatan jaringan koperasi sendiri,
seharusnya yang lebih penting adalah menyempurnakan kebijaksanaan dan strategi
pembangunan koperasi Indonesia sebagai suatu sistem yang lebih terpadu.
Melalui sistem tersebut, di samping akan dapat dimanfaatkan
instansi pembina koperasi terkait juga akan dapat dimanfaatkan oleh pihak lain
yang berkepentingan, terutama kedua wadah pelaku ekonomi lainnya untuk membantu
bekerjasama dalam membangun koperasi berdasar kerangka hubungan keterkaitan
integratif seperti diuraikan di atas.
Sebagai contoh aktual, misalanya pengembangan aspek
permodalan koperasi. Untuk mengatasi keterbatasan permodalan yang dimiliki
koperasi, di samping mengembangkan lembaga keuangan [bank maupun lembaga
keuangan bukan bank] milik koperasi sendiri, koperasi Indonesia harus dapat
mengembangkan suatu sistem permodalan koperasi Indonesia yang dapat
dimanfaatkan oleh lembaga keuangan non-koperasi untuk membantu mengatasi kebutuhan
permodalan koperasi tersebut.
Ketentuan dan kebijaksanaan Pakjan 29/1990 misalanya adalah
salah satu bentuk kongkrit dari sistem permodalan koperasi. Melalui ketentuan
itu semua lembaga keuangan bank milik pemerintah, swasta maupun koperasi dapat
bersama-sama berkiprah untuk mengatasi dan membangun permodalan koperasi yang
kokoh dan kuat.
Selanjutanya dalam rangka menyempurnakan kebijaksanaan
strategis pembangunan koperasi Indonesia tersebut di atas, ketentuan-ketentuan
yang ada dan tidak relevan perlu ditinjau kembali dengan pengertian untuk
mempercepat peningkatan kwalitasa internal organisasi koperasi agar benar-benar
dapat menjadi lembaga usaha yang efisien dan mandiri.
Melalui langkah itu, diharapkan koperasi Indonesia akan
mampu memanfaatkan peluang yang dihadapi dalam kegiatan usahanya sendiri, dan
selanjutnya mampu mengembangkan hubungan keterkaitan integratif dengan dua
wadah pelaku ekonomi lainnya.
Sejarah mencatat bahwa citra koperasi pernah merosot hingga
titik terendah pada masa lalu. Hal itu disebabkan karena terjadinya
praktek-praktek berkoperasi yang sudah jauh menyimpang dari prinsip dan sendi
dasar koperasi sendiri. Akibatnya, saat itu rakyat telah kehilangan kepercayaan
terhadap koperasi. Sekiranya dibiarkan, akan diperlukan waktu yang relative
sangat lama untuk menumbuhkan kembali kepercayaan rakyat itu.
Oleh sebab itu pemerintah berkewajiban untuk membantu upaya
membangun kembali citra koperasi. Yang terpenting untuk diketahui adalah bahwa
keterlibatan pemerintah itu bukanlah keterlibatan permanen, tetapi hanya
bersifat sementara.
Berdasar hal itu kebijakan pemerintah untuk membina koperasi
Indonesia, khususnya koperasi pedesaan, adalah dengan menerapkan strategi tiga
tahap pembangunan: tahap ofisialisasi, tahap deofisialisasi dan tahap otonomi.
Pada tahap ofisialisasi, pemerintah secara sadar mengambil
peran besar untuk mendorong dan mengembangkan prakarsa dalam proses pembentukan
koperasi. Lalu, membimbing pertumbuhannya serta menyediakan berbagai fasilitas
yang diperlukan.
Sasarannya adalah agar koperasi dapat hadir dan memberikan
manfaat dalam pembinaan perekonomian rakyat, yang pada gilirannya diharapkan
akan menumbuhkan kembali kepercayaan rakyat sehingga mendorong motivasi mereka
untuk berpartisipasi dalam kegiatan koperasi tersebut.
Tahap deofisialisasi ditandai dengan semakin berkurangnya
peran pemerintah. Diharapkan pada saat bersamaan partisipasi rakyat dalam
koperasi telah mampu menumbuhkan kekuatan intern organisasi koperasi dan mereka
secara bersama telah mulai mampu mengambil keputusan secara lebih mandiri.
Tahap ketiga adalah otonomi. Tahap ini terlaksana apabila peran pemerintah
sudah bersifat proporsional. Artinya, koperasi sudah mampu mencapai tahap
kedudukan otonomi, berswadaya atau mandiri.
Tahapan tersebut di atas telah dilaksanakan secara konsisten
sejak Pelita II, di mana pemerintah pertama-tama memprakarsai untuk menyusun
konsep kelembagaan koperasi pedesaan.
Simpulan :
Menurut saya, Koperasi belum menjadi SokoGuru Perekonomian
Indonesia karena
1. Kurang perhatian dari pemerintah
2. Kurang mendapatkan kepercayan masyarakat terhadap
koperasi
3. Kurang nyaman nya koperasi ( karena banyak koperasi yang
menipu
4. Kurang peminatnya
5. Produk Produk yang selama ini ditawarkan koperasi sangat
terbatas, varian yang paling populer adalah simpan pinjam, itupun bukan menjadi
produk koperasi yang kompetitif yang bisa bersaing di pasar apalagi dengan suku
bunga bank yang tinggi membuat koperasi sulit berkembang dan margin yang
semakin tipis sehingga harus menaikan bunga jika ingin eksis
6. Harga lebih mahal membuat keengganan masyarakat untuk
berbelanja di koperasi. Bagaimanapun masyarakat pembeli adalah konsumen yang
membandingkan harga dengan tempat lain dan cenderung akan bertransaksi di
tempat yang lebih murah.
Dengan manajemen yang masih ‘kurang profesional’ baik dari
tingkat pendidikan personalnya, maupun manajemen pengelolaannya sehingga tidak
jarang koperasi bangkrut dan kolaps karena faktor ini. Itupun masih ditambah
dengan tingginya tingkat penggelapan dana yang kerap kita dengar, karena
pemerintah sangat memanjakan koperasi.
Menurut pasal 33 UUD 1945, koperasi ditetapkan sebagai
bangun usaha yang sesuai dalam tata ekonomi kita berlandaskan demokrasi
ekonomi. Oleh karena itu, seharusnya koperasi perlu dipahami secara lebih luas,
yaitu sebagai suatu kelembagaan yang mengatur tata ekonomi kita berlandaskan
jiwa dan semangat kebersamaan dan kekeluargaan.
Dalam tatanan perekonomian nasional, koperasi Indonesia pada
dasarnya mempunyai fungsi yang sarat dengan misi pembangunan, terutama
terwujudnya pemerataan. Koperasi Indonesia merupakan bagian integral dari
sistem pembangunan nasional
Dari kerangka pendekatan dan pemikiran yang bersifat
integral di atas, maka jelaslah bahwa koperasi Indonesia adalah suatu badan usaha
yang seharusnya dapat bergerak di bidang usaha apa saja sepanjang orientasinya
adalah untuk meningkatkan usaha golongan ekonomi lemah
Yang menjadi ukuran koperasi Indonesia adalah sejauh mana
usaha koperasi itu terkait dengan usaha anggotanya terutama golongan ekonomi
lemah, dan pada gilirannya dapat menghasilkan manfaat sebesar-besarnya dalam
proses peningkatan kesejahteraan mereka. Dengan perkataan lain yang diukur
adalah sumbangannya secara langsung dalam proses melaksanakan fungsi
pemerataan.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar