Kamis, 23 Juni 2016

TUGAS SOFTSKILL
MASALAH EKONOMI DI INDONESIA
TINGGINYA BIAYA PRODUKSI



Nama         :  Annisa Fitri (20212958)
                     Anita Rosita (20212938)
                     Ira Nirmala (28212064)
                     Nanda Dwi Cahyani (25212232)
Kelas                   : 4EB22










1.     Biaya Produksi dan Upah Tenaga Kerja Tinggi Picu Deindustrialisasi


Sumber : Indonesia Finance Today
JAKARTA - Industri manufaktur di Indonesia berpotensi mengalami deindustrialisasi seiring dengan tren penurunan pertumbuhan dalam lima tahun terakhir. Seiring dengan itu, kenaikan upah tenaga kerja mengakibatkan biaya produksi industri dalam negeri menjadi lebih tinggi dan tidak kompetitif dibanding negara lain.
"Tren penurunan industri nonmigas memicu deindustrialisasi di Indonesia, dimana gejala ini telah terlihat sejak empat hingga lima tahun yang lalu. Hal itu salah satunya dipicu oleh industri padat karya menjadi penyumbang deindustrialisasi terbesar di dalam negeri seiring dengan upah tenaga kerja saat ini yang cukup tinggi," kata Haryadi Sukamdani, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) kepada IFT.
Selain itu, dia juga menilai, biaya produksi tinggi mengakibatkan hasil produksi dalam negeri menjadi tidak kompetitif dan lebih mahal dibandingkan dengan produk impor. Sehingga pada akhirnya, banyak orang yang berpikir untuk mengambil langkah melakukan impor dibanding mendirikan pabrik.
"Biaya tidak kompetitif itu mengakibatkan banyak industri gulung tikar atau merelokasi usaha mereka. Hal tersebut terus-menerus terjadi hingga terjadi penurunan pertumbuhan industri. Saat ini, industri yang ada dan mampu berkembang di Tanah Air adalah industri padat modal dan berteknologi. Namun industri tersebut cenderung sedikit menyerap tenaga kerja," ujar dia.
Berdasarkan data Kementerian Perindustrian, pertumbuhan industri pengolahan nonmigas sempat menyentuh level tertinggi pada 2011 sebesar 6,49%, kemudian melambat pada tahun-tahun berikutnya. Pada 2012, industri pengolahan non-migas tumbuh 6,42%, lalu turun menjadi 6,1% di 2013 dan 5,34% pada 2014.
Penurunan pertumbuhan industri ini berpengaruh pada penurunan daya saing industri sebagai ancaman utama deindustrialisasi di Indonesia. Data World Economic Forum (WEF) dalam Global Competitiveness Report 2014-2015 menunjukkan peringkat daya saing Indonesia masih berada di bawah negara-negara ekonomi utama di Asean.
Data WEF menempatkan Indonesia di peringkat 35 dari 144 negara yang disurvei. Meskipun peringkat tersebut mengalami peningkatan dibanding tahun sebelumnya, daya saing Indonesia masih berada di bawah Thailand yang berada di peringkat 31, Malaysia di peringkat 20, dan Singapura yang ada diperingkat 2.
Meski demikian, menurut Haryadi, deindustrialisasi tidak perlu dikhawatirkan bila melihat komitmen investasi dan pembangunan industri saat ini. Pasalnya kini banyak pelaku usaha yang membeli lahan di kawasan industri, meski untuk realisasinya masih membutuhkan waktu.
Dengan begitu, dia berharap, tren pembelian lahan dan pembangunan industri itu terealisasi, maka ke depan akan ada titik balik untuk pertumbuhan industri. Meski untuk mencapai titik balik pertumbuhan industri tersebut juga bergantung pada kebijakan pemerintah seperti dari segi upah tenaga kerja dan pemerataan pembangunan infrastruktur, seperti listrik di seluruh wilayah Indonesia, agar investasi tidak hanya terkonsentrasi di Pulau Jawa.
Harjanto, Direktur Jenderal Basis Industri Manufaktur Kementerian Perindustrian, membenarkan mengenai adanya kecenderungan penunan pertumbuhan industri sejak 2012. Penurunan pertumbuhan industri, kata Harjanto, seiring dengan dengan penurunan ekspor dan impor.
Kendati demikian, sepanjang tahun ini Kementerian Perindustrian menargetkan industri non-migas bisa kembali tumbuh di kisaran 6,8% atau di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi.
Sementara untuk meningkatkan daya saing, pemerintah berupaya mendorong industri untuk bisa memenuhi indeks standar daya saing yang mencakup masalah energi, mendorong efisiensi dan sebagainya.
2.     Biaya Produksi Kayu Meningkat

Sumber : Bisnis.com,JAKARTA
Biaya produksi usaha perkayuan tercatat naik 10%-15% pada semester I/2015 lalu. Meningkatnya biaya produksi ini disebabkan masih tingginya potensial konflik antar perusahaan dengan masyarakat, naiknya harga bahan bakar minyak, serta menguatnya dolar pada enam bulan belakangan. Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Irsyal Yasman mengatakan faktor melemahnya rupiah terhadap dolar menjadi faktor utama kenaikan biaya produksi ini. Sebab, seluruh komponen yang dibutuhkan untuk produksi kayu dibeli dalam dolar.
"Katakanlah dari Rp1 juta per meter kubik, sekarang sudah lebih, kenaikan 10% itu," katanya kepada Bisnis.com, Senin (13/7/2015). Ke depan, lanjutnya, biaya produksi diperkirakan akan terus naik mengingat dolar saat ini masih tinggi dengan kisaran Rp13.300. Menguatnya dolar ini sudah tentu diiringi dengan kenaikan harga komponen lainnya yang akan mempengaruhi biaya produksi tersebut.
Sayangnya, lanjut Irsyal, tingginya biaya produksi tidak diiringi dengan peningkatan produksi kayu dan/atau kenaikan harga jual. Menurutnya, produksi kayu pada semester I/2015 dan untuk total tahun 2015 ini diperkirakan masih sama dengan tahun lalu. "Masih sekitar 6 jutaan , 5 juta sampai 6 jutaan hingga akhir tahun ini. Tidak akan lebih dari itu" ujarnya. Padahal, lanjut Irsyal, pemerintah memberikan kuota produksi untuk kayu hingga 10 juta meter kubik per tahun dengan usaha yang ada saat ini. Menurutnya, mrendahnya realisasi produksi tersebut karena masalah-masalah tadi belum terselesaikan
Kesimpulan
Salah satu cara untuk mengurangi biaya produksi adalah untuk membeli bahan baku yang lebih murah, bahan ataupun sparepart. Periksa dengan produsen yang memproduksi bahan-bahan yang Anda gunakan, seperti kayu, pewarna, minyak dan berbagai makanan. Cari sebanyak banyaknya infrmasi mengenai bahan baku yang anda gunakan. Meminta produsen untuk katalog harga berbagai bahan baku. Petimbangkan juga pergantiana bahan baku manakala ada pihak yang menawarkan unit cost paling murah. Dan ingkatkanlah kualitas produk anda. Produk-produk berkualitas tinggi membantu menjaga biaya garansi Anda ke bawah. Perusahaan kecil yang menghasilkan produk rendah memiliki biaya garansi yang lebih tinggi. Itu karena perusahaan bertanggung jawab untuk memperbaiki atau mengganti produk yang rusak atau bagian dalam jangka waktu garansi mereka. Cara terbaik untuk meningkatkan kualitas produk adalah dengan menetapkan catur berkualitas untuk berbagai tahap proses produksi. Menerapkan standar kualitas baru dengan mengidentifikasi aspek produk Anda Anda dapat meningkatkan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar